Revolusi Hijau: Pengertian & Latar Belakang

Revolusi Hijau dilengkapi dengan pengertian dan latar belakangnya akan kami uraikan secara sederhana agar bisa dengan mudah Anda pahami. Untuk pembahasan lebih lanjut, silahkan simak ulasannya di bawah ini.

revolusi hijau

Perselisihan antar negara yang menyebabkan terjadinya Perang Dunia I serta Perang Dunia II adalah salah satu faktor mengapa Revolusi Hijau muncul. Perang itu menjadi faktor hancurnya lahan-lahan pertanian dan perkebunan. Kondisi itu menjadkan pasokan kebutuhan makanan dunia mengalami penurunan yang drastis.

Munculnya Revolusi Hijau pun menjadi bagian dari perbaikan sektor pertanian, baik alat pertaniannya, rotasi tanaman, atau juga irigasi. Masa transisi itu melalui proses panjang sampai masuk ke wilayah Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia.

Pengertian

Revolusi Hijau merupakan sebutan yang tidak resmi untuk menggambarkan bagaimaan perubahan drastis penggunaan teknologi dalam sektor pertanian. Revolusi ini dimulai sejak tahun 1950-an sampai 1980-an oleh negara-negara berkembang, terutama negara di wilayah Asia.

Munculnya revolusi ini menghasilkan capaian seperti swasembada beberapa jenis bahan pertanian pada berbagai negara yang sebelumnya selalu terjadi kekurangan ketersediaan bahan pangan, seperti India, China, Bangladesh, Vietnam, Thailand serta Indonesia.

Orang yang dilihat sebagai pencetus utama dari gerakan ini adalah Norman Borlaug. Ia merupakan penerima penghargaan Nobel Perdamaian pada tahun 1970 silam.

Akan tetapi sebelum itu, revolusi pada bidang pertanian ini sudah diawali oleh Ford dan juga Rockefeller Foundation yang mengenalkan gandum di negara Meksiko pada tahun 1950 serta padi di negara Filipina pada tahun 1960.

Baca Juga: Politik Etis: Pengertian, Latar Belakang, & Trias Etika

Latar Belakang

Upaya untuk meningkatkan produksi pertanian dalam Revolusi Hijau dilatarbelakangi oleh pemikiran Thomas Robert Malthus, seorang tokoh yang berasal dari Inggris yang mempunyai peran penting pada bidang ekonomi politik serta demografi, yang memiliki pendapat jika kemiskinan adalah hal yang tidak bisa dihindari karena semakin tingginya pertumbuhan penduduk, yang tidak dibarengi dengan peningkatan produksi pangan.

Pemikiran Robert ini lalu mendorong lembaga bernama Ford Foundation and Rockefeller Foundation untuk melakukan sebuah penelitian di sejumlah negara-negara berkembang, seperti Meksiko dan Filipina.

Di Meksiko sendiri, kedua lembaga itu mengembangkan penelitian tentang varietas gandum baru yang dipercaya lebih produktif serta lebih tahan dari serangan hama. Varietas gandum ini muncul melalui penelitian Norman Borlaug, ilmuwan asal Amerika Serikat, yang kemudian dikenal sebagai bapak Revolusi Hijau.

Penelitian varietas gandum yang digabungkan dengan adanya teknologi pertanian modern pada akhirnya menjadikan Meksiko sebagai negara pengimpor gandum terbesar pada tahun 1960-an. 

Setelah penelitiannya di Meksiko berhasil, pada tahun 1962, Ford Foundation and Rockefeller Foundation membuat sebuah badan penelitian tanaman di Los Banos, yang diberi nama International Rice Research Institute atau IRRI. IRRI ini lalu berhasil mengembangkan varietas bibit padi baru yang lebih produktif, yang selanjutnya disebut sebagai padi ajaib atau padi IR-8.

Revolusi Hijau di Indonesia

Perubahan di sektor pertanian di dunia pun berdampak terhadap Indonesia, salah satu dampaknya adalah penggunaan pupuk serta pestisida kimia. Revolusi Hijau pun menjadi proyek utama pada zaman Orde Baru untuk memacu hasil pertanian dengan cara menggunakan teknologi modern.

Revolusi Hijau dilihat sebagai jawaban mengenai tantangan ketersediaan pangan yang diperkirakan akan semakin meningkat. Walaupun sudah dimulai dari tahun 1970-an, dampaknya baru bisa dirasakan pada tahun 1980-an.

Pemerintah Indonesia saat itu mendorong pertanian padi, penggunaan bibit impor, pemakaian pupuk kimia, pestisidan dan sebagainya. Sampai pada akhirnya pada tahun 1990-an Indonesia berhasil melakukan swasembada beras.

Namun pada tahun yang sama juga, para petani di Indonesia mulai mendapat serangan dari hama, dan mengalami kemerosotan kesuburan tanah pertanian. Selain itu pemakaian pupuk serta pestisida sudah tidak lagi manjur, dan harga padi yang diatur oleh pemerintah.

Bahan kimia yang dipakai untuk lahan pertanian membuat kerusakan pada struktur, kimia dan juga kontur tanah. Bahan-bahan pestisida yang sebelumnya bisa meningkatkan produksi pertanian justru malah merusak ekosistem serta habitat hewan-hewan yang penting karena menjadi predator alami untuk hama-hama tertentu. Pestisida pun malah menyebabkan imunitas pada beberapa hama.

Lama-kelmaaan kerusakan ekologi seakan tidka bisa dihindari lagi dan produksi pangan kembali menurun dan ongkos pertanian malah meningkat. Kondisi-kondisi ini menyebabkan produksi tidak lagi banyak dan menurunkan minat rakyat dalam bidang pertanian.

Rate this post